|
Tweet |
Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Penulis adalah pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya
MERUAKNYA MAFIA pajak dan mafia hukum baru-baru ini menandakan satu hal, bahwa mekanisme demokratisasi, yang kini menjadi prioritas utama pemerintahan Indonesia, tidak cukup meredam konspirasi korup yang bersarang di dalam birokrasi pemerintahan. Sebaliknya proses demokratisasi yang ditandai dengan desentralisasi otoritas justru malah memperbesar kemungkinan adanya konspirasi korup yang bersarang di lembaga hukum, maupun lembaga publik lainnya. Mungkinkah proses demokratisasi justru merangsang terciptanya konspirasi yang mengikis legitimasi sekaligus kinerja lembaga publik kita? Mungkinkah demokrasi justru menjadi bumerang yang menyerang balik pengusungnya?
Ilusi Demokrasi
Pada hemat saya ideal demokrasi setidaknya berdiri di atas tiga pengandaian. Pertama, demokrasi berdiri di atas sebuah pengandaian, bahwa setiap warga negara berada di dalam kedudukan setara, lepas dari ras, suku, agama, maupun tingkat ekonominya. Pengandaian kesetaraan ini lebih merupakan aspirasi daripada sebuah fakta. Ketidakmungkinan mewujudkan aspirasi ini ke dalam realitas menjadi ilusi pertama demokrasi.
Mafia hukum dan pajak bisa timbul dan berkembang, karena adanya ketidaksetaraan akses di dalam penegakan hukum dan pengelolaan pajak. Lemahnya akses informasi juga memperlemah sikap kritis publik terhadap dua bidang tersebut. Akibatnya kontrol juga melemah, dan mafia bertumbuh subur seolah tanpa resistensi. Ketidaksetaraan adalah fakta nyata yang harus disingkapi secara bijaksana, dan bukan dengan melarikan diri memaksakan kesetaraan antar warga negara di hadapan hukum, yang kiranya kini kian berubah menjadi ilusi.
Pengandaian kedua demokrasi adalah mungkinnya kehendak seluruh rakyat diwakili oleh beberapa orang yang dianggap pantas. Berpegang pada pengandaian ini sama juga berpegang pada asap yang segera sirna tertiup nafas. Asap tersebut sama rapuhnya seperti mimpi. Mimpi tersebut berpegang pada dua ilusi lainnya, yakni adanya kehendak rakyat yang utuh dan satu. Faktanya kehendak rakyat itu terpecah, karena begitu beragamnya kultur masyarakat yang ada, dan sangat sulit untuk ditemukan akar yang mendasarinya.
Ilusi yang kedua adalah mungkinnya satu orang mewakili pandangan satu kelompok masyarakat. Sang wakil rakyat sulit untuk menentang kebutuhan pribadinya, ataupun tekanan kekuasaan yang mungkin saja menyanderanya. Di dalam sandera kebutuhan pribadi dan tekanan politis, kebutuhan rakyat yang sesungguhnya seringkali terabaikan begitu saja. Inilah ilusi yang berada di belakang teori-teori demokrasi, yakni ilusi bahwa sang wakil rakyat, anggota DPR dan partai politik, mampu menyampaikan kepentingan rakyat yang sebenarnya, lepas dari keinginan pribadi maupun tekanan kekuasaan politis eksternal.
Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang hidup melalui institusi-institusi publik yang bertugas melayani kepentingan publik. Di dalam masyarakat demokratis, otoritas dibagi ke dalam beragam institusi tersebut. Inilah yang disebut sebagai proses desentralisasi, yakni proses pembagian kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan yang bersumber dari kekuasaan itu. Masalahnya adalah di masyarakat yang kesadaran hukumnya masih amat rendah, institusi publik begitu mudah terpelanting menjadi koruptor, seolah tanpa resistensi apapun, karena otonominya yang besar.
Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia. Ilusi demokrasi mendorong desentralisasi, dan desentralisasi menjadi ladang yang subur bagi korupsi. Besarnya kekuasaan institusi-institusi publik membuat lingkaran konspirasi korup justru semakin besar tanpa perlawanan. Mafia hukum bisa bekerja sama dengan mafia pajak dengan begitu mudah, karena proses desentralisasi kekuasaan atas nama demokrasi memberi mereka kekuasaan untuk melakukan itu. Proses desentralisasi melahirkan konspirasi. Konspirasi melahirkan korupsi. Korbannya adalah rakyat.
Ilusi menuju Konspirasi
Dengan demikian potensi terciptanya “konspirasi terkutuk” dalam bentuk mafia pajak dan mafia hukum adalah konsekuensi logis dari demokrasi yang tanggung, yakni demokrasi tanpa kepastian hukum. Penguasa-penguasa lokal lahir untuk mengeruk sumber daya daerah tanpa ada kontrol dari pusat. Institusi-institusi publik dengan otonominya melebarkan sayap korupsi tanpa bisa diakses oleh rakyat ataupun pemerintah pusat yang memiliki otoritas. Hadirnya mafia di berbagai kehidupan publik adalah konsekuensi dari desentralisasi demokrasi yang tidak diikuti dengan kepastian hukum.
Demokrasi pada tataran praktek harus merupakan tegangan dinamis antara kontrol pusat dan desentralisasi kekuasaan, baik terhadap institusi ataupun daerah. Disebut tegangan karena ekstrem salah satu di antara keduanya justru akan memunculkan masalah baru yang mungkin saja lebih besar dari sebelumnya. Disebut dinamis karena tegangan tersebut diharapkan menghasilkan inovasi-inovasi baru yang bisa memperkaya tata politik Indonesia. Di dalam tegangan ilusi akan lenyap terhisap kabut realitas. Di dalam dinamika dunia, keutamaan demokrasi akan terus diuji dalam perubahan yang berlangsung terus menerus.
Kontrol pusat yang kuat terhadap kinerja institusi dan pemerintah daerah perlu ditingkatkan, sambil tetap peka pada upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas tata kelola politik. Ini diperlukan untuk melenyapkan mafia yang bercokol di dalam berbagai institusi publik yang ada sekarang ini. Ini juga diperlukan untuk memacu kreativitas dan inovasi tata politik yang ada. Tujuannya tetap sama yakni menjamin terciptanya kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. [*]
0 komentar:
Posting Komentar