|
Tweet |
Bambang Hertadi Mas (52), asal Indonesia, Jumat, 18/06/2010 memulai mengayuh sepedanya untuk melintasi separuh Eropa, dari kota Brussels di Belgia. Bambang, yang juga akrab disapa Paimo ini berangkat secara resmi dari KBRI Brussel di Boulevard de la Woluwe menuju Perancis, Spanyol, Portugal, dan diakhiri di kota Casablanca, Maroko.“Mengagumkan dan unik. Warga Indonesia di usia yang tidak muda lagi, memilih Brussel sebagai titik tengah untuk bersepeda sepanjang 3.230 kilometer, yang akan ditempuh selama kurang lebih dua bulan (60 hari) dari 12 Juni hingga 15 Agustus 2010,” kata PLE Priatna, Minister Counsellor KBRI Brussel, saat menyambut keberangkatan tur Eropa pengiat sepeda dari Brussel, Jumat (18/6/2010) dalam siaran persnya yang diterima Kompas.com semalam.
Menurut Priatna, apa yang dilakukan Paimo ini sangat membanggakan, karena dia mencoba menempuh jarak ribuan kilometer sambil memperkenalkan Indonesia di manca negara. “Tidak hanya langka tapi juga membanggakan,” katanya.
“Saya bersepeda untuk celebrate life. Untuk menikmati dan mengagumi kehidupan,” kata Paimo, pria kelahiran Malang tahun 1958 itu seperti dikutip Priatna.Sebelum memulai perjalanan, Paimo mengaku telah mempersiapkan diri secara serius, terutama menjaga kondisi fisik agar tetap prima. Logistik juga telah disiapkan dengan matang, termasuk bekal, yang berasal dari kocek sendiri ditambah peran serta beberapa sponsor.
Paimo juga ingin mengembangkan persahabatan dengan komunitas-komunitas bersepeda di Eropa, dan bahkan Afrika. “Saya memiliki teman-teman cyclist yang tersebar di seluruh dunia, termasuk di Eropa. Kesempatan ini akan saya pergunakan untuk mengunjungi dan mempererat persahabatan dengan mereka,” imbuhnya.Sebelum melanglang ke Eropa, pada tahun 2009 Paimo telah melakukan perjalanan bersepeda melintasi Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Laos.
Mengawali ‘karir’ bersepedanya sejak awal era 80-an, Paimo telah membawa sepedanya ke puncak 11 gunung yang berbeda, termasuk di Gunung Kilimanjaro di Tanzania.Rekor jarak terjauh yang pernah ditempuhnya adalah ketika pada tahun 2005, dia menempuh jarak 5.400 km dari kota La Paz di Bolivia hingga ke kota Punta Arenas di Argentina, yang merupakan titik paling selatan di benua Amerika.
“Bersepeda merupakan obsesi saya sejak dulu,” kata Paimo. Bahkan ketika diwisuda sebagai sarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung pada tahun 1986, dirinya menaikkan sepeda ke atap gedung aula ITB.Dilepas secara resmi oleh Kuasa Usaha ad interim KBRI Brussel sekitar pukul 10.00 waktu Brussel, Bambang memulai kayuhannya menuju ke kota Mons, 60 km di sebelah barat laut Brussel. Di sana dia akan bermalam untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Perancis.
Brussel dipilih sebagai awal perjalanannya kali ini karena kemudahan rute dan akses. Dia menjadwalkan untuk kembali ke Indonesia pada pertengahan bulan Agustus 2010.“Bersepeda itu sehat. Saya senang dapat bersepeda sekaligus promosi Indonesia di manca negara,” tutup Bambang sebelum memulai perjalanannya.
Sebuah pertemuan yang menggugah terjadi ketika Don Hasman, fotografer senior Indonesia, mengunjungi kantor Fotografer.net (FN) di Yogyakarta, Kamis (25/3). Fotografer kelahiran Jakarta tahun 1940 ini sudah mulai motret sejak berusia 11 tahun. Tercatat berbagai puncak dunia sudah ditaklukkannya. Berbagai negara sudah dijelajahi dengan berjalan kaki dan bersepeda.Wilayah tertinggi yang pernah ditaklukkan Don Hasman adalah Nuptse, kawasan Himalaya, Everest base camp 6.150 meter tahun 1978, masuk wilayah geografis Nepal. Baru 9 tahun kemudian rekor tersebut bisa diperbaharui oleh orang Indonesia lain. Don Hasman juga pernah menaklukkan Gunung Kilimanjaro 5.985 meter di Tanzania tahun 1985. Ia berangkat, antara lain, bersama mendiang Norman Edwin, wartawan Kompas, yang legendaris itu.
Keteladanan Don Hasman adalah kekonsistenan memotret hingga hari ini, kala usianya beranjak senja. Oom Don, demikian ia akrab disapa, tahun 2007 masih sanggup berjalan kaki 1000 km dari Saint-Jean-Pied-de-Port, Perancis Selatan ke Cape Finisterre, Spanyol Barat Laut. Perjalanan selama 35 hari itu ditempuh dalam 2.200.000-an langkah oleh anggota kehormatan Mapala UI bernomor anggota MK 225 ini.
Kunjungan Oom Don ke kantor FN tak jauh dari fotografi. Menimba pengalaman dari fotografer dan petualang alam bebas ini bak menimba dari sumur yang tak pernah kehabisan air. Sambil saling berbagi foto, Oom Don menyebutkan, “Foto bagus adalah foto yang bisa menggugah perasaan.”
Petikan yang singkat tapi dalam dan mengena. Ketika fotografer berkutat dengan kecepatan rana, diafragma, dan perlombaan resolusi, petikan Oom Don ini penting dijadikan bahan refleksi. “Foto yang menggugah bisa menginspirasi orang yang melihatnya. Membuat orang melakukan sesuatu,” imbuh Oom Don.
Fotografer kerap pula mengabaikan etika dalam memotret. Pada upacara Yadnya Karo tahun 2009, adat suku Tengger di Bromo, Oom Don tegur tegas seorang pejabat pehobi fotografi yang nekat pakai alas kaki. Padahal di tempat tersebut sudah diumumkan larangan pakai alas kaki. Di kantor FN, Oom Don tunjukkan bukti foto pejabat yang nekat langgar aturan itu. “Dia pakai atasan pakaian adat tapi bawahnya pakai celana jins. Pakai sepatu, pula!” ungkap Oom Don berapi-api.
Tahun 2009, Oom Don masih kuat berkeliling Gunung Tambora, di Pulau Sumbawa, NTB untuk menyusun buku fotografi tentang gunung itu. Gunung Tambora jadi legendaris lantaran letusan tahun 1815 masuk yang terbesar dalam sejarah dunia. Selama setahun planet bumi tersaput abu Tambora, dan tak ada musim panas. Sudah sepatutnya Oom Don, yang legendaris itu, terlibat dalam penyusunan buku tentang gunung legendaris.
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta 7 Oktober 1940, anak ke 7 dari 8 bersaudara. Kedua orang tua dari Betawi berdarah campuran Jabar, Malaysia, China dan Portugis.Pendidikan : Lulusan D3, Akademi Hubungan Internasional, Jakarta 1971. Pengalaman : Sejak tahun 1951 sudah gemar memotret pakai kamera kakak.Kamera pertama yang dipakai Voigtlander (6 x 9). Tahun 1968 mulai proses cuci/cetak sendiri (black and white)
Tahun 1979-1995 menjadi wartawan Tabloid Mutiara Jakarta, ditarik oleh Aristides Katoppo. Pensiun tahun 1995 (ditambah kontrak 2 tahun lagi).
Memotret di 5 benua (Asia, Australia, Eropa, Afrika dan Amerika).
Rencana Juni 2008 ke Alaska, Desember ke Antartika lewat Chili Amerika Selatan. Tahun 1999 mulai memberikan ceramah-ceramah fotografi di FMSR ISI Yogyakarta. Tahun 2007 baru saja kembali dari Spanyol, jalur ziarah Santiago de Compostela, berjalan kaki selama 35 hari, sejauh 1000 km (2.256.680 langkah) dihitung dengan alat Pedometer.
Hobi/Prestasi : Naik Gunung : Tahun 1976 Gunung Etna (Italia), Mount-blanc (Prancis), Damavand (Iran), Everest Basecamp (Nepal), dan telah mendaki hamper seluruh gunung berapi di Indonesia(sekitar 40 gunung berapi)
Tertarik menjadi muslim sejak memotret komunitas muslim di Iran (1976)
Menyelam : Tahun 1971 Great Berrier Reef (Australia), 1976 Laut Tengah Mediteranian (Turki), 1965 ikut mempelopori membuka Taman Laut Bunaken (Sulut, menyelam di Wakatobi (Sultra), NTT, NTB, Pulau Komodo, Gorontalo, Teluk Jakarta, Pesisir Timur Pulau Weh, Aceh tahun 1980an.
Memiliki 3 Sertifikat Penyelaman : 2 Internasional (PADI dan SSI), dan 1 penghargaan nasional (Pasukan Katak).
Menelusuri Gua : Jenolan Cave (Australia), Gua-gua Pacitan, Sulsel, Sulut, Jabar dll.
Naik Sepeda : Tahun 1959 ikut Tour de Java II, 1993 Rally Sepeda di Tibet 2000 km.
Menggeluti Arung Jeram sejak tahun 1968-2008 di berbagai tempat di Indonesia.
Ikut Lomba Layar Tiang Tinggi Arung Samudera 1995 (Endeavor, Australia)
Penghargaan Trophy Adinegoro dalam Bidang Fotografi Jurnalistik 1987
Penghargaan Internasional 100 Famous Photograhers in the World (Perancis tahun 2000).
Selalu datang ke Yogyakarta untuk berbagi pengalaman fotografi dengan mahasiswa FSMR ISI, pecinta alam dan generasi muda fotografi Yogyakarta.
Keluarga : Menikah tanggal 31 Desember 1986 dengan Suryati dari Sumedang, Garut dan
mempunyai dua orang puteri Arina (20) dan Tarita (15)
TEKAD Supriyanto alias Mbah Boncel untuk mengelilingi Indonesia dengan menggunakan sepeda, paling tidak membuka mata kita semua. Pasalnya Mbah Boncel bisa melihat langsung budaya dan kebiasaan setiap masyarakat di daerah yang dilewatinya.
“Saya melihat masyarakat di Indonesia Barat kelihatannya lebih makmur dibanding di wilayah timur. Sehingga seharusnya masyarakat di wilayah timur itu mendapat perhatian khusus dari orang-orang penting di Indonesia,” ungkap Mbah Boncel saat berada di Kantor Redaksi Tribun, Minggu (11/3).
Selain itu, ia juga merasa beruntung bisa melihat secara langsung wilayah tanah air dari dekat. “Mungkin tidak semua orang bisa merasakan pengalaman seperti saya. Untuk itulah saya selalu menuliskan setiap perjalanan saya di dalam buku,” ujarnya sambil menunjukan buku besar yang berisi catatan perjalanan dengan rapi.
Ia juga bercerita, wilayah Indonesia merupakan daerah yang kaya dengan keindahan alam. Bahkan dari Kupang hingga Sumatera, ia mengaku kerap berhenti di tengah perjalanan, sekadar untuk menikmati pemandangan. Namun di luar itu, ia merasa miris dengan sejumlah perilaku orang-orang yang menjadi bagian bangsa ini.
“Empat celana saya hilang dicuri orang. Bahkan lampu sepeda yang baru saya beli, juga diambil orang. Bahkan pernah pula saya dihadang sejumlah orang di tengah hutan di Sumatera. Mereka mengira saya bawa uang banyak. Saat itu saya pasrah kepada Yang Di Atas saja,” ujar Mbah Boncel.
Orang-orang yang berusaha merampok Mbah Boncel kemudian merebut tas dan sepeda yang dikendarainya. “Saya biarkan saja. Mereka kemudian mengobrak-abrik isi tas. Karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan, para perampok itu berencana membawa sepeda saya. Namun untungnya ketika mereka mencoba menaikinya, secara tiba-tiba rantai sepeda itu macet. Mereka bahkan sempat mencobanya sampai lima kali tapi nggak berhasil,” tambah Mbah Boncel.
Karena tidak berhasil mendapatkan barang-barang milik Mbah Boncel, para perampok itu pergi dengan sendirinya. “Ajaib, setelah sepeda itu macet rantainya, tiba-tiba kembali seperti sedia kala saat saya naiki,” ungkapnya.
Pengalaman lain yang tak bisa dilupakan oleh Mbah Boncel adalah saat melintas di Jakarta. Selain nyaris masuk ke jalur jalan tol, Mbah Boncel sempat menarik perhatian pengguna jalan lain yang melintas. Bahkan ia sering diberi jalan oleh pengendara lainnya dengan sukarela. “Sampai-sampai saya berada di tengah jalur. Sementara pengguna jalan lain justru menepi dan memberi kesempatan kepada saya,” ujar Mbah Boncel dengan tertawa.
Kedatangannya ke Kepri setelah dari Sumatera, bagi Mbah Boncel juga ada misi khusus. Ia ternyata ingin bertemu dengan keponakannya yang kini bekerja dan tinggal di daerah Sengkuang. “Dia itu anak kakak saya. Jadi waktu melintas ke Kepri, saya mampir ke rumahnya, sekaligus untuk menjenguk cucu yang baru lahir,” ungkapnya.
Selama di Batam Mbah Boncel, juga menyempatkan untuk berkeliling sebelum pergi ke Tanjungpinang dan meneruskan perjalanan ke Kalimantan. Ia sempat mengunjungi icon Batam, yakni Jembatan Barelang, serta ke sejumlah tempat di Jodoh/Nagoya, Sekupang dan sebagainya. Kamis hari ini, Mbah Boncel berencana meninggalkan Batam untuk meneruskan perjalanannya mengelilingi Indonesia dengan sepeda bututnya. Selamat jalan Mbah Boncel! (yondaryono).
SOURCE
0 komentar:
Posting Komentar