|
Tweet |
Survei internal yang dilakukan Universitas Indonesia, pada Februari - Maret 2010, di kalangan mahasiswa Fakultas Fisip dengan obyek survei mengenai Komunitas Asean 2015, menghasilkan sebuah kesimpulan yang dikatakan cukup mengejutkan. Dari beberapa negara Malaysia merupakan negara yang menjadi ancaman terbesar Indonesia. Dengan prosentase 48%, Malaysia mengungguli negara lain sebagai ancaman bila dibanding dengan Amerika Serikat 27,6%, China 12%, Australia, dan Singapura 3,6%.
Survei tersebut sebenarnya menguatkan apa yang selama ini sudah dilakukan oleh Malaysia kepada Indonesia. Kalau dihitung-hitung Malaysia sudah sering melakukan aksi-aksi sepihak terhadap rakyat dan aset kekayaan Indonesia.
Pertama, Malaysia membiarkan warganya dan aparatnya melakukan tindakan kekerasan terhadap warga Indonesia di Malaysia. Baik yang berprofesi sebagai TKI, sebagai diplomat, atau delegasi olah raga. Selain itu pemukulan yang dilakukan polisi terhadap wasit karate asal Indonesia dan penangkapan istri diplomat Indonesia oleh RELA --semacam polisi pamong praja, merupakan contoh yang lain.
Kedua, rakyat Indonesia banyak yang bekerja di sektor tenaga kasar dan tidak terampil maka rakyat Malaysia menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang rendah dengan sebutan Indon. Kalau dalam bahasa kita sebutan itu sama dengan kere atau babu.
Ketiga, pemerintah Malaysia secara terang-terangan telah membajak dan mencuri kekayaan hak intelektual Indonesia. Setelah batik dipatenkan, lagu asli Maluku Rasa Sayange, reog ponorogo juga diakui sebagai lagu rakyat Malaysia.
Keempat, merekrut para WNI menjadi AskarWataniyah. Laskar itu berfungsi sebagai pasukan cadangan Tentara Diraja Malaysia yang akan bertugas membantu tentara Malaysia bila terjadi pertempuran.
Kelima, kejadian yang terjadi menjelang peringatan 65 tahun Indonesia merdeka yakni penangkapan tiga pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau oleh Police Marine Malaysia di perairan Indonsia.
Selalu terulang permasalahan dengan Malaysia sebenarnya sudah menahun namun selalu selesai dengan ungkapan minta maaf atau selesai dengan cara-cara diplomasi. Ketika Tentara Diraja Malaysia melanggar batas-batas wilayah Indonesia masalah menjadi selesai ketika Panglima Tentara Diraja Malaysia minta maaf. Demikian juga ketika pemukulan terhadap wasit karate asal Indonesia dianggap selesai ketika PM Malaysia Ahmad Badawi meminta maaf kepada Presiden SBY.
Kesepakatan saling memaafkan itu dilakukan dalam rangka untuk menjaga hubungan baik kedua negara. Buktinya, hasil survei yang dilakukan oleh UI itu oleh Kementerian Luar Negeri tak perlu dibesar-besarkan. Dirjen Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri TM Hamzah Thayeb kepada pers mengatakan, setiap negara tetangga pasti ada yang konflik, dan itu hal yang lumrah. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan.
Dari sikap baiknya Indonesia itu rupanya selalu disalahgunakan oleh Malaysia. Selepas Malaysia mampu merebut Sipadan dan Ligitan, negara itu seolah-olah terus mengincar wilayah-wilayah Indonesia. Misalnya Pulau Jemur, di Sumatera; Perairan Ambalat di Kalimantan Timur, dan menggeser patok-patok berbatasan di berbagai wilayah darat di Kalimantan seperti di Tanjung Datu, D400, Gunung Raya, Sungai Buah, Batu Aum, C500-C600, B2700-B3100, Sungai Siman¬tipal, Sungai Sinapad, dan Pulau Sebatik.
Pelanggaran batas wilayah itu bukan dilakukan secara diam-diam, namun secara terang-terangan mereka lakukan. Tentara Diraja Malaysia dengan lenggang kankung memasuki Perairan Ambalat.
Menurut catatan TNI AL, di tahun 2009 Malaysia melakukan 13 kali pelanggaran, tahun 2008 terjadi 23 kali pelanggaran, dan tahun 2007 terjadi 76 kali pelanggaran. Namun, Indonesia belum pernah melakukan tindakan tegas, misalnya melakukan tembakan. Padahal dalam hukum, bila sudah diberi peringatan 3 kali tidak mengindahkan maka berhak dilakukan tembakan.
Mengapa Tidak Memerangi Malaysia?
Menghadapi ulah Malaysia yang sedemikian rupa, sebenarnya Indonesia menyatakan 'siap perang'. Hal demikian diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat membuka Munas VIII Generasi Muda FKPPI di Caringin, Bogor, (29/10/07). SBY dalam kesempatan itu mengatakan dirinya siap berperang dengan pihak mana pun bila hal sudah mengganggu kedaulatan dan keutuhan bangsa.
Tuduhan bahwa dirinya takut ketika perairan Ambalat bergolak ditepis SBY. Menurutnya dia saat itu juga terjun langsung ke lokasi dan memantau keadaan. Ungkapan siap dan berani perang itu terkait dengan tudingan tidak tegasnya Indonesia terhadap Malaysia yang sudah berulang kali melecehkan Indonesia.
Meski Malaysia sudah mengganggu kedaulatan dan keutuhan bangsa, namun Indonesia tidak melakukan apa yang dikatakan SBY tadi, yakni siap berperang. Mengapa Indonesia tidak memerangi Malaysia? Jawabannya karena Indonesia tidak mempunyai dana untuk melakukan peperangan. Kalaupun ada, dana itu lebih diprioritaskan kepentingan lainnya. Hal demikian seperti apa yang dikatakan SBY saat menjadi keynote speech seminar nasional di Seskoad Bandung, 19 Septermber 2008. Menurutnya daripada dibuat perang lebih baik digunakan untuk membangun program lainnya.
Dikatakan dalam kesempatan itu oleh SBY, sekali kita memilih opsi perang misalnya, harus dimengeri anggaran dan logistik perang yang diperlukan tersediakah di negeri tercinta ini? Anggaran tidak sedikit, termasuk logistiknya untuk membiayai peperangan, pertempuran, prajurit-prajurit kita dan satuan-satuan yang ada masuk medan laga.
Bagaimana kaitannya dengan prioritas yang lain, untuk kesejahteraan rakyat, untuk pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Mana yang kita pilih? Lantas untuk diketahui, sekali perang dilakukan, maka mesin perang harus terus bekerja, logistik harus tersedia untuk membiayai peperangan itu. Entah sebulan, entah setahun, dua tahun,
tiga tahun, dan sebagainya.
SBY mengutip pendapat Joseph E Stiglitz dalam bukunya The Three Trililion Dollar Bill, memaparkan bahwa biaya dan seluruh kegiatan yang mendukung perang yang dilakukan Amerika Serikat di Irak mencapai 3 trilliun US$. Nilai itu menurut SBY kalau dirupiahkan mencapai 27 kali APBN Indonesia. SBY pun mengatakan biaya operasi militer saat konflik di Aceh, Maluku, Maluku Utara, Poso cukup besar. Hal ini menunjukan bahwa secara ekonomi Indonesia tidak kuat untuk membiayai kekuatan militer dan operasionalnya.
Sebenarnya dalam soal membela kedaulatan dan keutuhan bangsa itu bukan berdasarkan ada atau tidaknya anggaran negara. Namun, sejauh mana tekad kuat pemimpin bangsa melakukan itu. Meski kondisi keuangan negara dalam keadaan krisis, namun Bung Karno tetap membeli ratusan kapal tempur. Hal itu diakui oleh Ali Sadikin. Saat itu, mantan Gubenur Jakarta, itu adalah Deputi II Menteri Kepala Staf Angkatan Laut.
Dikatakan, oleh Bang Ali, sebutan akrabnya, pada tahun 1960, ia lima kali ke Rusia. Dan, akhirnya Indonesia membeli 150 kapal perang, 14 di antaranya kapal selam, ada juga yang menyebut 24 buah kapal selam. Total harga semua kapal itu mencapai US$ 800 miliar. Para prajurit pun dididik di negara Beruang Merah itu.
Hadirnya kapal-kapal selam di dalam tubuh ALRI membuat sistem pertahanan dan keamanan Indonesia sangat ampuh. saat Operasi Trikora, kapal-kapal selam Indonesia sukses mengepung Irian Barat dalam rangka mengadakan operasi pengintaian dan menyusupkan pasukan komando ke daratan Irian. Akibatnya Belanda takut dan mengurungkan niat berperang terbuka dengan Indonesia. Alhasil Irian Jaya pun berhasil direbut kembali.
Bila pemerintah tidak tegas menjaga kedaulatan negara, maka rakyat sendirilah yang kelak akan melakukan tugas-tugas tentara. Buktinya ketika kasus pelanggaran batas wilayah perairan Ambalat oleh Tentara Diraja Malaysia, di berbagai daerah rakyat membuka posko Ganyang Malaysia. Salah satu posko itu berada di Jl Diponegoro 58, Jakarta Pusat, bekas Kantor PDI. Di posko itu ratusan orang mendaftar menjadi sukarelawan ganyang Malaysia. Posko itu membuka sukarelawan mulai 1 September 2009 dan tercatat sebanyak 360 orang lebih menjadi sukarelawan. Dari ratusan orang itu 30-an orang adalah guru honorer asal Jawa Barat.
Selama mereka mendaftar menjadi sukarelawan, mereka layaknya seorang calon tentara mendapat latihan baris berbaris, menggunakan senjata (bambu runcing), bahkan mendapat ilmu kekekalan. Mereka semua siap bila sewaktu-waktu diberangkatkan ke Malaysia.
Sebelum posko di Jl Diponegoro itu ada, di Samarinda, Kalimantan Timur, juga ada posko yang membuka pendaftaran relawan. Inisiatif itu dilakukan oleh Organisasi Masa Patriot Nasional (Patron). Rakyat, kader dan simpatisan organisasi Patron mempertahankan perairan Ambalat. Disebut posko itu menerima sukarelawan hingga 7.500 orang.@Detiknews.com
sumber : http://jekethek.blogspot.com/2010/09/inilah-lima-dosa-besar-malaysia.html