|
Tweet |
Korea, Situasi di Semenanjung Korea semakin memburuk sejak Korea Utara menembakkan artileri ke pulau Yeonpyeong (23/11) milik Korea Selatan yang menewaskan beberapa orang, disusul kemudian dengan gelaran latihan perang Korsel bersama Amerika di Laut Kuning. Dua belah pihak saling ancam menyerang. Tulisan ini mencoba membaca situasi Korea dalam konteks geopolitik global.
Tesis Huntington
Serangan Korut menjadi puncak dari ketegangan di perbatasan Korut-Korsel yang memang telah berlangsung lama. Sejak berakhirnya Perang Korea tahun 1953, hubungan Korut-Korsel selalu diwarnai ketegangan. Kerap kali terjadi insiden, dan serangan Korut kemarin adalah yang terburuk sejak 1953. Hingga saat ini, pihak Korut-Korsel memang belum menandatangani satu pun pakta perjanjian damai. Yang ada adalah gencatan senjata tahun 1953, sehingga kedua negara itu masih dalam situasi perang.
Setelah era Perang Dingin—istilah ini diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika—antara blok Barat (Amerika dan sekutunya) dan blok Timur (Soviet dan sekutunya) usai pada 1991, Samuel P Huntington, ilmuwan politik Amerika kelahiran New York (18 April 1927) pada tahun 1996 mempublikasikan bukunya berjudul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.
Tesis dalam buku ini antara lain menyebutkan bahwa Pasca Perang Dingin konflik dan kekerasan paling sering terjadi karena budaya ketimbang perbedaan ideologi. Jika dalam Perang Dingin, konflik terjadi antara blok Barat Kapitalis dan blok Timur Komunis, yang terjadi sekarang kemungkinan besar terjadi antara peradaban utama dunia. Huntington mengidentifikasi delapan peradaban, yakni: Barat, Amerika Latin, Islam, Cina (Konfusius), Hindu, Kristen Ortodoks, Jepang, dan ‘mungkin’ Afrika. Menurut Huntington, negara-negara Barat akan kehilangan dominasi jika mereka gagal untuk memahami sifat tidak terdamaikan dari ketegangan budaya.
Tesis Huntington tentu saja masih bisa diperdebatkan saat ini, karena kenyataannya justru antar peradaban itu tengah menjalin hubungan yang sangat baik. Gus Dur pernah mengkritik tesis itu, terutama yang terkait dengan Islam.
Menurut Gus Dur, Islam itu heterogen. Satu kelompok tidak bisa disebut mewakili Islam secara keseluruhan. Selain itu, jika Huntington menyebut komunis benar-benar sudah ‘mati’, kenyataannya Korut menjadi salah satu negara komunis-sosialis di dunia saat ini yang secara terang-terangan menjadi simbol perlawanan terhadap Barat (Amerika), selain Kuba.
Dua negara ini memang terang-terangan menentang segala kebijakan negara kapitalis Amerika. Bisa disebut, negara-negara ini menjadi bemper ‘perlawanan’ terakhir negara berideologi sosialis-komunis yang masih tersisa. Untuk Islam, saat ini bisa disebut Iran yang paling keras menentang Amerika.
Kebetulan, Korut dan Iran sama-sama tengah mengembangkan teknologi nuklir dan membangun secara besar-besaran reaktor nuklirnya. Amerika menuding Korut dan Iran juga tengah mengembangkan senjata nuklir, padahal Amerika sendiri adalah pemilik senjata nuklir terbanyak selain Israel.
Melawan Arogansi Amerika
Amerika merasa menjadi polisi dunia, dan merasa berhak mengatur negara-negara di dunia. Bahkan, lembaga setingkat PBB pun tidak kuasa menghentikan Amerika ketika menyerang Irak dan Afganistan. PBB juga tidak bisa menekan Amerika untuk tidak begitu berpihak pada kepentingan Israel, bahkan ketika Israel ‘membantai’ orang-orang Palestina di Gaza, Amerika seperti membiarkannya. Amerika dan Israel seperti satu ikatan. Kebijakan Amerika di Timur Tengah tidak lepas dari peran para pelobi Yahudi di Gedung Putih yang menyetir Amerika. Ironis memang, ketika polisi dunia justru tidak menjadi juru damai yang adil.
Dalam kasus semenanjung Korea, Amerika memperlihatkan arogansinya sebagai polisi dunia, dan mengajak dunia untuk sama-sama mengutuk Korut. Amerika membangun pangkalan militer di Korsel, dan menggelar latihan militer dengan Korsel di perbatasan, dengan dalih untuk membantu Korsel yang sewaktu-waktu diserang Korut. Bagi Korut, keberadaan Amerika adalah tindakan provokatif dan sikap arogan. Arogansi itu juga terlihat pada pernyataan Presiden Amerika, yang ketika itu dijabat George W Bush, tahun 2002 yang menyebut Korut sebagai bagian dari axis of evil (poros kejahatan) dan outpost of tyranny (pos terdepan tirani).
Dalam konteks geopolitik global, keberadaan negara ‘oposisi’ seperti Korut, Iran, dan Kuba, yang tidak sealur dengan kebijakan politik luar negeri Amerika adalah ‘penyeimbang’ yang memungkinkan Amerika tidak menjadi makin arogan yang bisa semaunya sendiri memaksakan ideologi kapitalisnya pada negara-negara sosialis berbasis komunis ataupun Islam. Amerika terbukti gagal di Irak dan Afganistan, karena ‘intervensinya’ ke kedua negara itu justru menciptakan berbagai persoalan dalam negeri yang sangat serius. Keberadaan pasukan Amerika di kedua negara itu, termasuk juga di Korsel, justru makin meningkatkan intensitas perlawanan, dan menciptakan perang-perang baru.
sumber : wihans.web.id