|
Tweet |
INILAH.COM, Jakarta - Masyarakat Indonesia dinilai sedang sakit dalam menyikapi peredaran video porno Ariel. Di satu sisi menghujat peredaran video porno, tetapi di sisi lain banyak yang ingin tahu.
Pakar pendidikan, sosiologi dan kemasyarakatan A Hanief Saha Ghafur menyebut masyarakat Indonesia kelihatan sehat-sehat saja. Tetapi di dalamnya masyarakat sebenarnya sedang sakit (sickness society) dan sudah berlangsung sejak dulu.
“Dalam kasus video porno Ariel itu misalnya, kasus ini dihujat dan tidak dibenarkan oleh masyarakat, tetapi di sisi lain video porno ini malah banyak dicari. Jadi sakit karena masyarakat tidak mempunyai apa yang disebut dengan daya tangkal moral yang kuat,“ katanya saat dihubungi dari Jakarta, kemarin.
Menurutnya masyarakat Indonesia dari dulu sudah terbiasa menjadi pesakitan yang bermuka dua. Di satu sisi menganggap sebagai hal yang buruk, tetapi di sisi lain juga ikut mencari atau mendukung hal buruk itu.
Sementara masyarakat Indonesia yang terlihat makin permisif pada hal yang berbau pornografi itu tidak berhubungan dengan adat barat ataupun adat ketimuran. Karena setiap kebudayaan mempunyai kejelekannya masing-masing.
Pornografi sendiri telah ada di dua kebudayaan ini sejak dulu, sehingga bukan menyangkut apakah adat ketimuran memudar atau tidak. Hanief mencontohkan kebudayaan asli pribumi kita sendiri sebenarnya sudah mempunyai budaya porno sejak dulu yaitu kumpul kebo.
Ia juga mencontohkan di satu daerah di Jawa Timur, suami atau istri bisa bebas melakukan hubungan seks dengan orang lain tanpa merasa risih. Hal itu karena masyarakat di wilayah itu sudah biasa dan mengizinkan kebebasan seperti itu.
“Jadi sebenarnya kita tidak perlu memikirkan apakah adat ketimuran Indonesia akan hilang atau tidak karena pornografi, karena itu juga merupakan bagian dari kebudayaan. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara agar bangsa ini menjadi bangsa yang berkarakter dan kuat,” imbuhnya.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait menilai untuk menjaga generasi bangsa dengan cara razia ponsel, serta larangan mengunjungi situs jejaring sosial tidak akan menyelesaikan masalah. Yang harus dilakukan adalah edukasi.
“Yang harus dilakukan lingkungan guru adalah membekali dan memberikan pengetahuan kepada murid baik SD, SMP, SMA bagaimana menggunakan teknologi yang tidak mungkin ditolak secara sehat. Jadi dalam bentuk pengetahuan, bukan regulasi yang melarang,” imbuhnya.
Arist menilai regulasi penting, namun yang lebih urgent adalah pembekalan terhadap anak agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Sementara pemerintah, sekolah dan orang tua dinilai masih kurang dalam memberikan edukasi pada anak tentang penggunaan Facebook yang sehat, mana yang baik dan mana yang buruk.
Menurut Arist Facebook membuat anak menjadi narsis dan mudah dirayu untuk bertemu orang asing. Sementara foto dengan pakaian tank-top sudah biasa ditampilkan dan lama-lama foto telanjang bisa jadi yang akan diunggah di Facebook.
“Sungguh membahayakan. Fakta menunjukkan 53,6% pengguna internet di dunia adalah remaja. Edukasi dan pembekalan terhadap anak urgent dibutuhkan saat ini,” tandasnya.
Sementara A Hanief Saha Ghafur menilai peredaran video porno artis terkenal itu akan makin memicu seks pranikah. Seks yang dilakukan sebelum menikah itu berada dalam ranah norma agama dan norma moral. Ketika bentuk kebebasan yang permisif sudah diterima sebagai kewajaran, maka norma-norma akan mengalami perubahan bentuk atau kehilangan fungsinya.
Apalagi, kata Hanief masyarakat kita mempunyai apa yang disebut split society, keadaan masyarakat yang mempunyai kepribadian terpecah.
“Contohnya, ketika Ramadhan semua orang ramai-ramai, baik artis, pejabat, ataupun orang awam akan berpakaian muslim, terlihat pergi ke masjid, melakukan sumbangan. Tetapi setelah itu mereka kembali ke kebiasaan lamanya. Bermuka dua. Inilah cermin dari suatu masyarakat split society,“ katanya.
Pakar pendidikan, sosiologi dan kemasyarakatan A Hanief Saha Ghafur menyebut masyarakat Indonesia kelihatan sehat-sehat saja. Tetapi di dalamnya masyarakat sebenarnya sedang sakit (sickness society) dan sudah berlangsung sejak dulu.
“Dalam kasus video porno Ariel itu misalnya, kasus ini dihujat dan tidak dibenarkan oleh masyarakat, tetapi di sisi lain video porno ini malah banyak dicari. Jadi sakit karena masyarakat tidak mempunyai apa yang disebut dengan daya tangkal moral yang kuat,“ katanya saat dihubungi dari Jakarta, kemarin.
Menurutnya masyarakat Indonesia dari dulu sudah terbiasa menjadi pesakitan yang bermuka dua. Di satu sisi menganggap sebagai hal yang buruk, tetapi di sisi lain juga ikut mencari atau mendukung hal buruk itu.
Sementara masyarakat Indonesia yang terlihat makin permisif pada hal yang berbau pornografi itu tidak berhubungan dengan adat barat ataupun adat ketimuran. Karena setiap kebudayaan mempunyai kejelekannya masing-masing.
Pornografi sendiri telah ada di dua kebudayaan ini sejak dulu, sehingga bukan menyangkut apakah adat ketimuran memudar atau tidak. Hanief mencontohkan kebudayaan asli pribumi kita sendiri sebenarnya sudah mempunyai budaya porno sejak dulu yaitu kumpul kebo.
Ia juga mencontohkan di satu daerah di Jawa Timur, suami atau istri bisa bebas melakukan hubungan seks dengan orang lain tanpa merasa risih. Hal itu karena masyarakat di wilayah itu sudah biasa dan mengizinkan kebebasan seperti itu.
“Jadi sebenarnya kita tidak perlu memikirkan apakah adat ketimuran Indonesia akan hilang atau tidak karena pornografi, karena itu juga merupakan bagian dari kebudayaan. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara agar bangsa ini menjadi bangsa yang berkarakter dan kuat,” imbuhnya.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait menilai untuk menjaga generasi bangsa dengan cara razia ponsel, serta larangan mengunjungi situs jejaring sosial tidak akan menyelesaikan masalah. Yang harus dilakukan adalah edukasi.
“Yang harus dilakukan lingkungan guru adalah membekali dan memberikan pengetahuan kepada murid baik SD, SMP, SMA bagaimana menggunakan teknologi yang tidak mungkin ditolak secara sehat. Jadi dalam bentuk pengetahuan, bukan regulasi yang melarang,” imbuhnya.
Arist menilai regulasi penting, namun yang lebih urgent adalah pembekalan terhadap anak agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Sementara pemerintah, sekolah dan orang tua dinilai masih kurang dalam memberikan edukasi pada anak tentang penggunaan Facebook yang sehat, mana yang baik dan mana yang buruk.
Menurut Arist Facebook membuat anak menjadi narsis dan mudah dirayu untuk bertemu orang asing. Sementara foto dengan pakaian tank-top sudah biasa ditampilkan dan lama-lama foto telanjang bisa jadi yang akan diunggah di Facebook.
“Sungguh membahayakan. Fakta menunjukkan 53,6% pengguna internet di dunia adalah remaja. Edukasi dan pembekalan terhadap anak urgent dibutuhkan saat ini,” tandasnya.
Sementara A Hanief Saha Ghafur menilai peredaran video porno artis terkenal itu akan makin memicu seks pranikah. Seks yang dilakukan sebelum menikah itu berada dalam ranah norma agama dan norma moral. Ketika bentuk kebebasan yang permisif sudah diterima sebagai kewajaran, maka norma-norma akan mengalami perubahan bentuk atau kehilangan fungsinya.
Apalagi, kata Hanief masyarakat kita mempunyai apa yang disebut split society, keadaan masyarakat yang mempunyai kepribadian terpecah.
“Contohnya, ketika Ramadhan semua orang ramai-ramai, baik artis, pejabat, ataupun orang awam akan berpakaian muslim, terlihat pergi ke masjid, melakukan sumbangan. Tetapi setelah itu mereka kembali ke kebiasaan lamanya. Bermuka dua. Inilah cermin dari suatu masyarakat split society,“ katanya.
sumber : inilah.com
0 komentar:
Posting Komentar