|
Tweet |
Teorinya sederhana namun agak sedikit kontroversi merujuk pada teori relativitas Einstein. Ilustrasi gambar diatas mungkin dibuat untuk bercanda, bagaimana bisa manusia membuat sebuah cermin raksasa berjarak satu juta tahun cahaya dari bumi. Kalau menggunakan logika fisika jelas hal ini mustahil untuk dilakukan, speed light traveling masih bisa dilakukan manusia lewat film dan cerita-cerita fiksi lainnya.
Saya tidak tertarik dengan tawaran “melihat masa lalu” pada dua juta tahun (garis waktu prasejarah) yang lampau, namun menggunakan model teori ini dengan tolak ukur kenisbian jagat raya menurut saya adalah humor yang cerdas. Yang menarik adalah konsep hubungan antara; ruang, waktu, cahaya, sebagai media informasi (present day) dimasa depan dalam parodi ini.
Mencerna ide ini dengan pendekatan matematik dan mereduksinya ke dalam rumus fisika adalah hal yang konyol, sudah jelas hal ini terukur namun mustahil dalam penerapannya. Si pembuat ilustrasi ini malah beranggapan ide ini lebih cocok dikategorikan sebagai humor ketimbang dianggap sebagai konsep yang serius.
Kemudian terpikir jika metode tersebut difahami dalam perspektif lain. Saya teringat konsep ruang, waktu dan cahaya dalam perspektif kebijakan lama yang menyebutkan bahwa Tuhan mewakilkan eksistensinya dalam ketiga konsep tersebut. Kembali ke masa lalu merupakan hal yang mustahil tapi tidak bagi Sang eksistensi yang melingkupi ruang dan waktu. Kemudian bandingkan peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha dalam perjalan menembus lapisan langit dimana Beliau bertemu dengan para Nabi di masa lalu pada tiap lapisannya. Sesampainya di sana Beliau bertemu dengan Tuhan dalam bentuk suatu Cahaya.
Apakah persamaan konsep teori “bagaimana melihat masa lalu” dengan persfektif yang saya paparkan di atas hanya sekedar kebetulan ? jauh di relung benak saya mengakatakan, “parodi teori ini bukan humor biasa”.
sumber : jarakada.net
Saya tidak tertarik dengan tawaran “melihat masa lalu” pada dua juta tahun (garis waktu prasejarah) yang lampau, namun menggunakan model teori ini dengan tolak ukur kenisbian jagat raya menurut saya adalah humor yang cerdas. Yang menarik adalah konsep hubungan antara; ruang, waktu, cahaya, sebagai media informasi (present day) dimasa depan dalam parodi ini.
Mencerna ide ini dengan pendekatan matematik dan mereduksinya ke dalam rumus fisika adalah hal yang konyol, sudah jelas hal ini terukur namun mustahil dalam penerapannya. Si pembuat ilustrasi ini malah beranggapan ide ini lebih cocok dikategorikan sebagai humor ketimbang dianggap sebagai konsep yang serius.
Kemudian terpikir jika metode tersebut difahami dalam perspektif lain. Saya teringat konsep ruang, waktu dan cahaya dalam perspektif kebijakan lama yang menyebutkan bahwa Tuhan mewakilkan eksistensinya dalam ketiga konsep tersebut. Kembali ke masa lalu merupakan hal yang mustahil tapi tidak bagi Sang eksistensi yang melingkupi ruang dan waktu. Kemudian bandingkan peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha dalam perjalan menembus lapisan langit dimana Beliau bertemu dengan para Nabi di masa lalu pada tiap lapisannya. Sesampainya di sana Beliau bertemu dengan Tuhan dalam bentuk suatu Cahaya.
Apakah persamaan konsep teori “bagaimana melihat masa lalu” dengan persfektif yang saya paparkan di atas hanya sekedar kebetulan ? jauh di relung benak saya mengakatakan, “parodi teori ini bukan humor biasa”.
sumber : jarakada.net
0 komentar:
Posting Komentar