|
Tweet |
Jakarta, Para pembaca yang budiman, berikut ini fatwa-fatwa seputar Idul Kurban yang penting diketahui oleh kaum muslimin, terkhusus bagi saudara-saudara yang hendak berkurban. Fatwa-fatwa tersebut kami sajikan dalam bentuk soal-jawab agar lebih menyentuh masing-masing permasalahan. Wallahul muwaffiq.
Soal: Apa saja yang dilarang bagi orang yang hendak berkurban?
Jawab: Disyari’atkan bagi orang yang hendak berkurban ketika telah muncul hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) agar tidak memotong rambut, kuku, dan kulitnya sampai binatang kurbannya disembelih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) sedangkan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaknya ia menahan diri dari memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain:
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim)
Larangan ini hanya berlaku bagi orang yang akan berkurban, dan tidak berlaku bagi keluarganya, baik yang menyembelih sendiri atau yang mewakilkan kepada orang lain. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 2194)
Soal: Apa saja syarat-syarat hewan kurban?
Jawab: Syarat-syarat hewan kurban ada empat;
Syarat pertama: hewan kurban harus dari jenis hewan yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk dijadikan kurban, yaitu unta, sapi, dan kambing. Oleh karenanya, jika berkurban berupa kuda, maka kurban tersebut tidak sah. Hal ini karena kuda bukan dari jenis yang ditetapkan syari’at sebagai hewan kurban, walaupun bisa jadi harganya lebih mahal dari unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Syarat kedua: hewan kurban telah mencapai batasan umur minimal yang ditetapkan syari’at. Jika kambing jenis domba, maka telah mencapai usia setengah tahun. Jika kambing kacang/jawa (ma’iz) telah genap berumur setahun, sedangkan sapi telah genap berumur dua tahun, dan unta telah genap berumur lima tahun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Janganlah kalian menyembelih hewan kurban, kecuali bila hewan tersebut telah mencapai usia musinnah (unta berumur lima tahun, sapi berumur dua tahun, kambing berumur satu tahun). Namun jika kalian kesulitan, maka silahkan menyembelih domba yang telah berumur enam bulan (jadza’ah).”
Syarat ketiga: hewan kurban tersebut selamat dari cacat yang membuatnya tidak layak untuk dikurbankan. Hal ini telah disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Empat bentuk cacat yang tidak boleh ada pada hewan kurban: buta sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud)
Keempat cacat tersebut menghalangi keabsahan hewan kurban. Bila seseorang menyembelih hewan kurban berupa kambing yang matanya buta sebelah dan jelas butanya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang sakit yang jelas sakitnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang pincang yang jelas pincangnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang kurus sekali (yang tidak bersumsum), maka kurbannya tidak diterima. Begitu pula yang lebih parah dari cacat yang telah disebutkan di atas, seperti buta kedua matanya, putus kakinya, tertimpa sesuatu yang menjadi penyebab kematiannya seperti induk yang kesulitan dalam melahirkan anak -kecuali bila melahirkan dengan selamat-. Begitu pula dengan yang tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk/tertusuk benda tajam, atau digigit hewan buas. Bila seseorang berkurban dengan hewan kurban yang semisal ini, maka kurbannya tidak diterima. Karena yang demikian itu lebih tidak pantas/tidak layak untuk dipersembahkan sebagai kurban. Adapun cacat-cacat lain yang lebih ringan dari yang disebutkan di atas, seperti telinganya terpotong, tanduknya patah, ekornya putus, maka berkurban dengan hewan kurban seperti ini masih diterima. Meskipun padanya terdapat sedikit cela/cacat. Tidak ada perbedaan antara yang terpotong, patah, atau putus sedikit ataupun banyak. Sampai-sampai seandainya tanduk hewan kurban tersebut patah keseluruhannya pun masih diterima/sah bila berkurban dengannya. Begitu pula dengan telinga atau ekornya. Namun, semakin sempurna hewan kurban tersebut, semakin afdhal (utama) untuk dipersembahkan sebagai hewan kurban.
Syarat yang keempat: Penyembelihan hewan kurban tersebut harus dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni dari setelah shalat Idul Adha sampai akhir hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah-red). Batas waktunya selama 4 (empat) hari, yaitu mulai setelah shalat Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah, walaupun ia seorang yang belum mengerti tentang waktu sahnya penyembelihan kurban. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam saat beliau berkhutbah: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah.” Kemudian berdirilah seorang pria yang bernama Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berkurban/menyembelih hewan kurbanku sebelum shalat Id,” maka beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Kambingmu itu kambing sembelihan biasa,” beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat, maka kurbannya tidak sah,” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “maka hendaklah ia menyembelih yang lain sebagai gantinya (di waktu yang sah untuk menyembelih-red).” Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah berakhirnya hari tasyriq, maka kurbannya tidak sah. Hal itu karena ia menyembelih diluar waktunya. Jadi syarat-syarat penyembelihan hewan kurban adalah sebagai berikut:
1. dari jenis binatang ternak (yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk menyembelih dengannya-red), yaitu unta, sapi, dan kambing.
2. telah mencapai umur yang ditetapkan syari’at: yaitu mencapai usia musinnah yaitu 5 tahun untuk unta, 2 tahun untuk sapi, dan 1 tahun untuk kambing kacang/jawa (ma’iz); atau usia jadza’ah (6 bulan) untuk domba.
3. selamat dari empat cacat yang telah disebutkan di atas.
4. dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Adapun yang lebih mencocoki syari’at dalam masalah jumlah hewan yang akan dikurbankan adalah tidak berlebihan jumlahnya. Sebagaimana telah dicontohkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para salafush shalih, seorang muslim berkurban untuk dirinya sendiri, dan keluarganya dengan satu hewan kurban. Namun pada masa ini, seorang istri datang kepada suaminya seraya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, kemudian datang putrinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, lalu datang saudarinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, sehingga dalam sebuah rumah tersebut terkumpul beberapa kurban. Hal ini menyelisihi apa yang telah dilakukan para salafush shalih. Sungguh, manusia termulia, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tidaklah berkurban kecuali dengan satu hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya. Padahal, sebagaimana yang telah diketahui, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memiliki sembilan istri (yang berarti beliau juga memiliki sembilan rumah). Bersamaan dengan itu, tidaklah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban kecuali dengan satu hewan kurban, untuknya dan keluarganya. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban satu lagi untuk ummatnya. (Lihat Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Liqo` Al-Bab Al- Maftuh)
Soal: Apa perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad pada hari Idul Fitri dan Idul Adha? Kapan dimulainya dan kapan berakhirnya? Tolong beri kami penjelasan! Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Jawab: Perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad ialah, bahwa takbir mutlak dilakukan pada setiap waktu, sedangkan takbir muqayyad dilakukan setiap selesai dari shalat lima waktu pada hari raya Idul Adha saja. Takbir mutlak pada hari raya Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul Fitri semenjak masuk bulan Syawwal sampai ditegakkannya shalat Idul Fitri. Takbir muqayyad sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan setelah selesai shalat fajar (subuh) pada hari ‘Arafah sampai berakhirnya hari-hari tasyrik. (Ditulis pada tanggal 2 Dzulhijjah 1415H. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al- ‘Utsaimin no. 5831)
Soal: Siapakah yang berhak untuk diberi daging hewan kurban, dan apa hukumnya memberikan daging kurban kepada orang yang menyembelihkan hewan kurban tersebut? Bagaimana hukumnya menunda pembagian daging kurban (bukan pada hari disembelihnya hewan kurban tersebut)?
Jawab: Orang yang berkurban hendaklah memakan sebagian dari hasil sembelihannya. Sebagian dari hasil sembelihannya yang lain hendaknya diberikan kepada orang-orang fakir miskin agar mereka dapat menutupi kebutuhan pada hari itu. Juga kepada karib kerabat sebagai perwujudan silaturrahim (menyambung tali persaudaraan). Kemudian kepada tetangga agar timbul kerukunan dalam bertetangga dan saling tolong menolong. Serta kepada teman-teman untuk mempererat dan memperkuat tali persaudaraan sesama muslim. Bersegera dalam memberikan hasil sembelihan di hari raya Idul Adha lebih baik dibanding menundanya sampai hari kedua dan setelahnya. Karena yang demikian dapat melegakan, dan memberikan kegembiraan kepada mereka di hari itu. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya): “Bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan (bersegera) menuju surga yang seluas langit dan bumi.” (Ali Imron: 133).
Juga firman-Nya (yang artinya): “Maka bergegaslah melakukan kebaikan.” (Al- Baqarah: 148)
Tidak mengapa memberikan daging hasil sembelihan pada orang yang menyembelihkan hewan kurban, namun jangan diniatkan sebagai imbalan untuknya. Jika ingin memberi imbalan, maka hendaknya diberi dari selain daging hasil sesembelihan. Wa billahit taufiq. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 5612)
Wallahu ta’ala a’lam bish showab
sumber : wihans.web.id