|
Tweet |
Jakarta : 29 Oktober 2010, Kami bawakan rangkuman terakhir musibah bencana Tsunami di Mentawai ini dari beberapa Media sekaligus terangkum menjadi satu seperti dibawah ini, tujuannya agar Anda tidak perlu repot lagi surfing online sekedar untuk mencari kabar terbaru tentang Musibah Mentawai.
Korban Tewas Mentawai Hampir 400 Orang
Jumlah korban tewas bencana gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, hampir menembus 400 orang. Data terakhir Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdal Ops PB) Sumatera Barat menunjukkan, korban tewas kini 394 orang, korban luka berat sebanyak 267 orang, dan luka ringan 142 orang.
Tim evakuasi korban gempa dan tsunami tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan evakuasi korban. Kebutuhan yang paling mendesak adalah kurangnya sarana transportasi berupa speedboat. Sarana ini akan dipergunakan untuk mendistribusikan bantuan ke empat kecamatan di Mentawai. Tim juga terkendala bahan bakar minyak yang sangat terbatas.
“Selain itu, belum ada dapur umum untuk para pengungsi dan relawan. Padahal, jumlah pengungsi mencapai 12.865 yang tersebar di Kecamatan Sipora Selatan, Pagai Utara dan Selatan, serta Sikakap,” kata Ade Edward, Manajer Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdal Ops PB) Sumatera Barat, Jumat (29/10/2010) pagi.
Disebutkan, selain jumlah korban tewas yang terus bertambah, saat ini terdata ada 312 orang yang hilang. Rumah warga yang rusak berat sebanyak 442 unit dan rusak ringan 200 unit. Rumah ibadah 6 unit, sekolah 5 unit, rumah dinas 6 unit, jembatan 5 unit, resor 2 unit, serta kapal 1 unit terbakar.
Enam Dusun di Mentawai Rata Tanah
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyatakan, sedikitnya enam dari 27 dusun (kampung) yang dihempas gelombang tsunami di Kabupaten Mentawai, Senin (25/10/2010) malam rata dengan tanah. Gubernur menyampaikan hal itu, Kamis malam kepada wartawan, setelah melakukan peninjauan selama dua hari ke lokasi yang terkena hempasan gelombang tsunami di Mentawai.
Gubernur menjelaskan, di luar dusun yang rata dengan tanah, dari jumlah 27 dusun yang terkena itu, sisanya 50-60 persen mengalami kerusakan. Bahkan, akibat hantaman gelombang tsunami banyak karang yang sampai ke daratan di dusun yang rata dengan tanah tersebut, termasuk di Purou-Rougat yang dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Gelombang tsunami, kata gubernur, terjadinya 15 menit setelah gempa berkekuatan 7,2 skala Richter (SR) dan berulang selama tiga kali dengan ketinggian ada yang capai 12-15 meter di beberapa tempat. Ia mengatakan, umumnya dusun warga Mentawai menghadap ke laut lepas, bangunan rumah-rumahnya banyak di tepi pantai, meskipun mereka umumnya berladang coklat, cengkeh, dan nilam.
“Korban meninggal dunia umumnya karena tsunami, karena waktu datangnya hanya berjarak 15 menit dari peristiwa gempa 7,2 SR terjadi. Masyarakat yang sudah tidur dan ada pula yang sedang nonton televisi tetapi warga sebagian yang tak menduga akan terjadi tsunami,” katanya.
Ia menjelaskan, umumnya korban yang ditemukan jasadnya banyak di darat, dan sebagian kecil yang mengapung di laut. Pencarian terhadap korban yang masih hilang, tambah gubernur, akan tetap dilakukan beberapa hari ke depan, dan mudah-mudahan cuaca di perairan Mentawai mendukung.
Kendala yang dihadapi tim gabungan dalam melakukan evakuasi terhadap korban yang hilang, dihadapkan dengan transportasi karena hanya semata mengandalkan jalur laut. Jalur laut, dalam dua hari terakhir masih relatif mendukung di perairan itu, sehingga perahu mesin bisa menuju dusun-dusun yang terkena hempasan gelombang tsunami.
Tsunami Sunyi di Mentawai
Televisi masih ramai menyiarkan soal letusan Gunung Merapi, Yogyakarta, yang terjadi pada senja hari Selasa (26/10) hingga tengah malam. Beberapa warga diberitakan tewas, termasuk seorang wartawan. Sedangkan ratusan orang di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tewas dalam senyap.
Tanpa mengecilkan tragedi Merapi, pemberitaan media soal Mentawai memang sangat terlambat. Hingga hari kedua pascabencana, gambaran Mentawai masih samar. Masih sedikit foto dan video dari ladang bencana Mentawai. Sementara pemberitaan seputar Merapi sudah riuh rendah, terutama perihal ”drama” sang juru kunci Merapi, Mbah Marijan.
Negara ini memang belum hadir di pulau-pulau terluar. Maka, ketika bencana melanda kawasan itu, perhatian pun datang terlambat. Bahkan, sekadar kabar soal terjadinya petaka kerap kali datang terlambat. Namun, media ternyata juga tak hadir di sana karena ”tertipu” pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang mencabut peringatan adanya tsunami. Selain itu, kebanyakan media mengandalkan tebengan. Sedangkan pihak yang biasa ditebengi (baca: pemerintah) terlambat datang, bahkan terlambat mengetahui adanya tsunami.
Dan, ketika pun kemudian hadir, aspek yang banyak diumbar adalah soal ”drama” setelah bencana dan melupakan mitigasi dan adaptasi. Ke mana saja kita sebelum bencana?
Masih saja kita terkaget dengan bencana gempa dan tsunami. Kenyataan bahwa negeri ini memiliki riwayat panjang petaka gempa dan tsunami seolah-olah dilupakan. Dan, petaka di Mentawai ini sudah jauh hari diperingatkan akan terjadi.
Lalu, di mana sistem deteksi dini tsunami yang dulu disebut-sebut telah disiapkan untuk memagari lautan Nusantara setelah petaka Aceh menelan korban tewas lebih dari 150.000 orang?
Melupakan mitigasi
Empat menit setelah gempa dangkal berkekuatan 7,2 skala Richter pada Senin (25/10) pukul 21.42, BMKG mengklaim telah merilis peringatan potensi adanya tsunami.
”Kami sebarkan peringatan itu melalui berbagai moda komunikasi, seperti layanan singkat melalui telepon seluler, faksimile, ke media, juga ke 12 pemda, termasuk ke Mentawai melalui DVB (digital video broadcast),” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Moch Riyadi.
Nyatanya, sirene peringatan tsunami tak pernah berbunyi di pesisir Mentawai karena pemerintah tak pernah memasangnya di sana. Riyadi mengatakan, ”Kami tidak tahu apakah peringatan itu disampaikan ke masyarakat atau tidak. Itu di luar kewenangan kami.”
Pascaperingatan itu, BMKG, menurut Riyadi, terus menunggu kiriman data pasang surut milik Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). ”Kami amati terus, ternyata tidak ada data yang masuk dari Mentawai dan sekitarnya. Apakah alatnya tidak ada atau tak ada yang menyampaikan, kami tidak tahu,” ujarnya.
Perhitungan BMKG
Dalam perhitungan BMKG, jika terjadi tsunami, semestinya sudah tiba di pantai Mentawai paling lambat 15 menit setelah gempa. ”Setelah satu jam ditunggu tidak ada info kenaikan gelombang, akhirnya dikeluarkan status all clear, artinya peringatan sudah berakhir. Tujuannya agar masyarakat yang tadinya mengungsi kembali pulang,” ucapnya.
Di pesisir barat pantai Sumatera, seperti Padang, tsunami memang tak terjadi.
Namun, ketika televisi dan radio menyiarkan pencabutan peringatan tsunami itu, ratusan warga Kepulauan Mentawai sebenarnya tengah bergelut dengan maut. Gelombang tsunami menyerbu ke pantai sekitar 40 menit setelah gempa. Tsunami yang datang agak terlambat, slow earthquake tsunami.
Kenapa tsunami yang menghantam Mentawai tak terdeteksi oleh BMKG sehingga mereka mencabut peringatan tsunami? Dampaknya, publik baru tahu telah terjadi tsunami di Mentawai pada Selasa (26/10) siang.
Ahli tsunami yang juga Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono tak heran soal ”lolosnya” tsunami Mentawai dari deteksi BMKG. Sebab, alat deteksi dini tsunami (tsunami buoy) tak terpasang lagi di Mentawai. ”Dulu rencananya mau dipasang 22 buoy setelah tsunami Aceh terjadi. Tetapi, setahu saya baru dipasang tiga dan sekarang mungkin sudah lenyap karena dicuri atau rusak,” ujarnya.
Karena kita belum memiliki alat deteksi yang cukup dan sistem komunikasi yang baik untuk memastikan tsunami tak terjadi, Subandono menyarankan, peringatan tsunami itu semestinya tak usah dicabut.
Strategi adaptasi
Subandono juga mengingatkan, pencurian alat deteksi dini tsunami itu menandakan masyarakat juga kehilangan kepekaan terhadap bencana. ”Banyak yang belum sadar soal ancaman bencana ini sehingga mereka mencuri atau merusak deteksi dini tsunami,” katanya.
Atau permasalahannya bisa jadi karena masyarakat tidak dilibatkan dalam sistem peringatan dini tsunami ini?
Subandono menyebutkan, selain perbaikan teknologi deteksi dini tsunami, jatuhnya banyak korban sebenarnya bisa dihindari jika masyarakat Mentawai tanggap terhadap gempa dan tsunami. Mereka dulu mungkin memiliki kearifan lokal itu, tetapi sekarang banyak yang abai.
”Intinya, kalau ada gempa keras, masyarakat Mentawai harusnya langsung lari ke bukit seperti di Simeulue (Aceh) dengan smong-nya. Masyarakat Mentawai sangat dekat dengan sumber gempa sehingga tsunami bisa lebih cepat datangnya dibandingkan peringatan dini,” ungkapnya.
Subandono mengakui, proses mitigasi dan upaya untuk mengenalkan masyarakat agar beradaptasi terhadap bencana masih dilakukan setengah hati. ”Kami memiliki kemampuan terbatas untuk sosialisasi ke masyarakat. Anggaran mitigasi terbatas,” katanya.
Sebagian masyarakat tradisional sebenarnya memiliki mekanisme adaptasi terhadap gempa dan tsunami. Salah satunya mewujud dalam cerita rakyat atau folklor. Misalnya, cerita smong dari Pulau Simeulue, Aceh. ”Nga linon fesang smong,” demikian kepercayaan masyarakat setempat, yang artinya setelah gempa besar akan datang tsunami. Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan tentang tsunami yang pernah menimpa pulau ini pada tahun 1907.
Pengetahuan ini nyatanya menjadi penyelamat warga Simeulue saat terjadi tsunami pada 26 Desember 2004. ”Hanya” tujuh orang yang meninggal di pulau itu akibat bencana tersebut. Padahal, sebanyak 3.146 rumah rusak berat dan 4.856 rusak ringan serta 1.597 rumah hilang ditelan tsunami.
Sebagai salah satu peradaban tua, bahkan mungkin tertua di Nusantara, masyarakat Mentawai semestinya juga memiliki kemampuan adaptasi untuk hidup di pulau yang rentan gempa dan tsunami. Menjadi tugas semua pihak untuk menemukan kembali kearifan lokal itu, selain tentunya secara serius membangun sistem deteksi dini tsunami….
Tsunami Mengancam Sumatera
Jakarta – Keselamatan warga di sepanjang Sumatera terancam. Di pulau ini alat deteksi tsunami hanya ada enam. Padahal alat ini harus dipasang tiap 100 kilometer.
Tsunami yang melanda Mentawai, Sumatera Barat awal pekan ini telah memberi pelajaran bahwa sistem peringatan dini tsunami Indonesia tak layak. Akibat jeleknya sistem peringatan itu, ratusan jiwa melayang sia-sia. Padahal bencana tsunami serupa kemungkinan akan terus melanda Indonesia.
Geolog Senior Indonesia Awang Harun Satyana menyayangkan kondisi rumit di Indonesia. Alat deteksi tsunami belum tersebar rata di mana-mana. Padahal daerah ancaman tsunami di Indonesia mulai dari pantai barat Sumatra paling ujung sampai selatan.
Selain itu sepanjang selatan Jawa sampai daerah Pulau Rote serta sepanjang pantai Papua, Halmahera dan Sulawesi juga tidak ada deteksi tsunaminya.
“Seharusnya peralatan seperti itu ditempatkan di lautan, jadi bisa mengukur dan mengetahui, gelombang ini anomali bukan karena angin tapi dibangkitkan dari bawah. Kalau terintegrasi seperti itu, akan mengirimkan sinyal ke tempat monitoring dan ahli gempa mengetahui,” katanya.
Awang mengatakan ada peralatan yang tidak jalan ada yang jalan tapi rusak, macet dan masalah lain. “Jadi penting sekali kita memiliki alat-alat seperti ini. Di Indonesia belum banyak, yang saya tahu dulu BPPT sempat memasang beberapa di Sumatera dan setahu saya tak lebih dari 5 dan itu kurang sekali,” katanya.
Awang mengatakan sepanjang pantai barat Sumatra dan Jawa terutama Sumatra harusnya dipasang lebih banyak alat. Untuk menempatkannya sebenarnya gampang, tinggal melihat gempa yang lalu-lalu di mana.
“Bagusnya kalau mau serius setiap jarak reguler 100 km itu dipasang. Jadi jangan hanya ditempatkan di satu titik saja. Kita kan nggak bisa menduga-duga di mana gempa akan terjadi,” katanya.
Yang bagus Indonesia dipagari dengan sistem deteksi tsunami. Jadi jika ada gelombang besar, pendeteksiannya menjadi cepat. “Bisa saja kita nempatin alatnya di Lhokseumawe, tapi ternyata gempa terjadi di Mentawai, nah kelewat kan? Kalau kita pasang secara reguler per 100 km, di manapun bisa dideteksi,” jelasnya.
Project Manager Tsunami Buoy Joko Hartodjo mengatakan di Sumatra hanya ada 6 alat pendeteksi tsunami. Posisinya ada di selatan Aceh, Bengkulu, Enggano sampai selatan selat Sunda.
Harga seismo meter berada dalam kisaran ratusan juta rupiah. Namun alat ini butuh banyak untuk bisa membuat network. “Kalau cuma satu data yang didapat, hanya sebatas jarak saja. Kalau network banyak maka bisa dihitung letak episentrumnya di mana,” katanya.
Sementara bagian tsunami buoy hanya ada dua bagian. Harga satu sistem bisa mencapai Rp4 miliar untuk yang buatan lokal. Namun jika beli dari luar negeri harganya bisa mencapai Rp6,5 miliar.
Di Indonesia ada buoy bantuan Jerman. Selain itu ada buoy buatan Amerika dan buoy buatan Norwegia yang bekerja sama dengan Malaysia. “Jadi buoy yang ada di Indonesia itu ada 4 sistem, dari Amerika, Jerman, Norwegia dan lokal,” katanya.
Joko mengatakan jumlah seismo meter yang ada di Sumatra, jika dibilang cukup bisa cukup. Tapi untuk mendapat data yang lebih bagus, maka network harus ditambah. Sementara buoy, sedang diusahakan setiap 200 km harus ada. Tapi idealnya setiap 100 km.
“Memang ideal ada buoy setiap 100 km, tapi tegantung juga dengan pendanaan. Semakin banyak seismo dan buoy akan menjadi lebih banyak pilihan, artinya untuk pendeteksian akan jauh lebih baik lagi. Kendala mendasar yang ada adalah duit. Kalau mungkin APBN bisa memberikan dana yang ideal,” imbuh Joko.
Kutipan :wihans.web.id
sumber : Kompas, Vivanews, Tribunews, Inilah
0 komentar:
Posting Komentar